Ini adalah sebuah karya tulis yang mengangkat sebuah kisah cerita rakyat yang berkembang di Desa Tenganan, Karangasem. Karya tulis ini dibuat dan berhasil lolos di tingkat provinsi.
Selamat Membaca..
ANALISIS
NILAI-NILAI DIDAKTIS
CERITA
RAKYAT “LELIPI SELAAN BUKIT”
DARI
DESA TENGANAN KECAMATAN MANGGIS
KABUPATEN
KARANGASEM
Penulis:
Ni Komang
Yanti Suartini
SMA
Negeri 1 Bebandem
Jln.
Raya Jungutan, Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem,
Kabupaten Karangasem, Bali
ABSTRAK
Perkembangan zaman telah mengubah keadaan kebudayaan
nasional salah satunya adalah keberadaan cerita rakyat. Saat ini, jarang kita
menemukan orang tua (informan) yang masih ingat dengan satu cerita rakyat di
daerahnya dan tentunya budaya bercerita orang tua pada anak tidak ada lagi
sehingga anak-anak lebih senang menyimak cerita-cerita film yang disajikan oleh media televisi atau
internet. Oleh karena itu, kita berkewajiban untuk menjaga serta melestarikan
kebudayaan tersebut.
Bertolak dari hal tersebut, maka perlu diadakan
penelitian terhadap cerita-cerita rakyat pada zaman dahulu yang digunakan
sebagai media menanamkan nilai-nilai pada anak agar cerita rakyat tidak
mengalami kepunahan. Penelitian cerita rakyat ini, menjadikan desa Tenganan sebagai obyek penelitian karena di desa
tersebut terdapat sebuah cerita rakyat yang masih memiliki pengaruh besar di
dalam masyarakat tersebut.
Topik
bahasan penulis dalam penelitian ini adalah mengaji nilai-nilai didaktis cerita rakyat “Lelipi Selaan Bukit” di desa
Tenganan. Nilai-nilai didaktis yang dianalisis dalam hal ini adalah nilai
religius (ketuhanan), nilai etika/moral, dan nilai kesetiaan. Di samping itu,
juga mengaji kemiripan nilai cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit
terhadap pengaruh nilai kepercayaan di masyarakat desa Tenganan.
Metodologi yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah metode tinjauan kepustakaan (Library
Research),
metode perekaman, metode wawancara, dan analisis data melalui
metode deskriptif dan metode
observasi.
Akhirnya melalui penelitian ini, cerita-cerita rakyat
yang berkembang secara lisan khususnya di desa Tenganan bisa dilestarikan oleh generasi
muda, serta menjadikannya landasan untuk berpikir dan
berbuat yang baik layaknya sebagai generasi muda penerus bangsa.
Kata
kunci: Tenganan, cerita rakyat, nilai didaktis, religius,
etika, moral, kesetiaan.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dewasa
ini zaman terus berkembang, seperti halnya dengan keadaan kebudayaan nasional
Indonesia termasuk di dalamnya yaitu keadaan cerita rakyat yang ada pada zaman
dahulu yang merupakan warisan nenek moyang bangsa kita yang terdapat di
masing-masing daerah yang sudah mulai punah di zaman globalisasi ini. Saat ini,
banyak orang sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan cerita rakyat dan lebih
cenderung pada cerita-cerita luar seperti cerita drama serial yang disajikan di
televisi. Hal tersebut jelas berdampak pada keberadaan cerita rakyat dan
kelestarian budaya bercerita pada kalangan orang tua. Saat ini, jarang kita
menemukan orang tua (informan) yang masih ingat dengan satu cerita rakyat di
daerahnya dan tentunya tidak lagi bercerita pada anaknya sehingga anak-anak
tersebut lebih senang menyimak cerita-cerita film
yang disajikan oleh media televisi atau internet. Oleh karena itu, kita
berkewajiban untuk menjaga serta melestarikan kebudayaan tersebut.
Bertolak
dari hal tersebut, maka perlu diadakan penelitian terhadap cerita-cerita rakyat
pada zaman dahulu yang digunakan sebagai media menanamkan nilai-nilai pada anak
agar cerita rakyat tidak mengalami kepunahan. Penelitian cerita rakyat ini, menjadikan desa Tenganan sebagai obyek penelitian
karena di desa tersebut terdapat sebuah cerita rakyat yang masih memiliki
pengaruh besar di dalam masyarakat tersebut.
Seperti
yang sudah diketahui bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah di bawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangga sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Tenganan
adalah nama sebuah desa yang merupakan salah satu dari tiga desa Bali Mula
(Bali Aga) yang terdapat di Bali selain desa
Trunyan dan desa
Sembiran/Panglipuran.
Desa Tenganan merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Manggis, kabupaten Karangasem.
Menurut
sejarah, desa
Tenganan merupakan desa tua yang memiliki adat-istiadat yang unik dan yang lain
dari desa-desa di Bali pada umumnya. Masyarakat desa Tenganan adalah Bali Mula (Bali
Aga), karena mereka tidak terkena pengaruh dari luar terutama dari kerajaan
majapahit dahulu. Menurut Corn, bahwa masyarakat desa Tenganan berasal dari
Bendahulu, mereka adalah keturunan dari orang-orang Peneges (pengikut Raja Bendahulu) yang
secara filosofis mereka diberi hak dan kewajiban berupa wilayah oleh Dewa
Indra, karena keberhasilan mereka untuk menemukan kuda “Onceswara” yang hilang.
Wilayah desa
Tenganan dikelilingi oleh bukit yang melingkar serta merupakan kawasan hutan
lindung milik desa adat dan terdapat aturan (awig-awig) yang mengatur
pelestarian hutan tersebut.
Dari
segi adat-istiadat masyarakat Tenganan dibagi dalam tiga kelompok (adat) yaitu:
Desa Adat Gumung, Tenganan Pegringsingan, dan Tenganan Dauh Tukad. Adat
istiadat mengandung pengertian yang sangat luas diantaranya kebiasaan ahli
warisan nenek moyang yang diturunkan secara turun-temurun dipertahankan, baik
yang berasal dari agama maupun kebiasaan sehari-hari yang telah diterima
sebagai adat. Salah satu diantaranya yang dapat dimasukkan kedalam warisan
nenek moyang secara turun-temurun
adalah cerita rakyat yang berkembang di desa
Tenganan dan memberikan pengaruh yang besar bagi desa Tenganan.
Salah satu cerita
rakyat yang masih diyakini oleh masyarakat desa Tenganan adalah cerita rakyat
“Lelipi Selaan Bukit” atau “Ular di Tengah Bukit “. Oleh karena itu, cerita
semacam ini yang berkembang secara lisan dan turun-temurun yang hampir
tenggelam oleh peredaran waktu dan perkembangan zaman tersebut sudah seharusnya
dilestarikan kembali agar tidak mengalami kepunahan. Sehingga cerita-cerita
tersebut dapat bermanfaat bagi generasi berikutnya. Pelestarian cerita rakyat
dapat dilakukan dengan cara melakukan penelitian terhadap cerita-cerita rakyat
tersebut, kemudian mengaji unsur-unsur yang dikandungnya seperti unsur
religius, filosofis, psikologis, sosiologis maupun sejarahnya.
Topik bahasan penulis dalam
penelitian ini adalah mengaji nilai-nilai
didaktis cerita rakyat “Lelipi Selaan Bukit” di desa Tenganan. Menurut penelitian
penulis, cerita-cerita seperti ini sudah semakin sulit untuk ditemukan, karena
mengingat keterbatasan kemampuan mengingat orang-orang tua dahulu yang
kebanyakan telah lupa akan cerita seperti ini. Berdasarkan dengan hal inilah yang mendorong penulis untuk
melakukan penelitian cerita rakyat ini dan menjadikan hal ini sebagai latar
belakang dalam mengaji nilai-nilai didaktis
yang
terkandung dalam cerita rakyat “Lelipi Selaan Bukit”.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang penelitian di atas yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Nilai
didaktis yang bagaimanakah yang terkandung
dalam cerita Lelipi Selaan Bukit?
2. Apakah
cerita Lelipi Selaan Bukit termasuk kepercayaan masyarakat daerah Tenganan?
3. Adakah
kemiripan nilai cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit terhadap pengaruh nilai
kepercayaan di masyarakat desa Tenganan?
1.3
Pembatasan
Masalah
Untuk membatasi
permasalahan yang timbul di luar
pokok permasalahan yang dimaksud, maka perlu adanya pembatasan masalah. Adapun batasan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu:
1. Cerita
rakyat di desa
Tenganan “Lelipi Selaan Bukit”.
2. Mengaji
nilai-nilai didaktis
yang terkandung dalam cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit dan pengaruh
kepercayaan masyarakat desa
Tenganan terhadap cerita rakyat tersebut.
1.4
Tujuan
penelitian
Sejalan dengan rumusan
masalah yang dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Tujuan
umum, yaitu mengarahkan siswa-siswi yang duduk di bangku sekolah, agar dapat
tanggap terhadap kebudayaan warisan nenek moyang terutama pada cerita-cerita
rakyat yang berkembang di daerahnya, dan mampu melestarikan cerita tersebut
serta mengambil hikmah dari nilai-nilai
didaktis yang terkandung di dalamnya.
2. Tujuan
Khusus, yaitu sebagai latihan atau memperdalam teori-teori yang diterima di
bangku sekolah, dan untuk mengetahui serta memahami cerita-cerita rakyat yang
terdapat di desa
tenganan dan pengaruhnya bagi kehidupan di desa yang bersangkutan.
1.5
Manfaat
Penelitian
Dari hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak diantaranya
sebagai berikut.
1.
Bagi siswa yang duduk di bangku sekolah
Semoga hasil penelitian
ini dapat memotivasi seluruh siswa yang duduk di bangku sekolah untuk terus
melatih teori-teori yang didapatkan di sekolah
dan menjaga kebudayaan warisan nenek moyang yang telah turun-temurun seperti
cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit, karena sebagai
generasi penerus kita
berkewajiban untuk melestarikan cerita-cerita rakyat tersebut sehingga tidak
mengalami kepunahan walaupun terjadi perkembangan zaman.
2. Bagi
masyarakat desa
Tenganan
Semoga hasil penelitian
ini dapat memberikan dorongan atau masukan bagi masyarakat desa Tenganan untuk selalu melestarikan
seluruh kebudayaan warisan nenek moyang yang telah diturunkan secara
turun-temurun terutama pada cerita rakyat “Lelipi Selaan Bukit” dan
cerita-cerita rakyat yang lainnya, sehingga cerita-cerita tersebut selalu ada
sebagai acuan hidup dalam kodrat sebagai manusia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pengertian
Cerita Rakyat
Cerita
rakyat adalah sastra lisan atau cerita yang berasal, tumbuh, dan berkembang di
masyarakat pada daerah tertentu yang disebarkan secara turun-temurun dari masa
lampau dan diyakini menjadi milik masyarakat daerah tersebut serta memberikan
pengaruh dan peran penting bagi masyarakat. Di mana
suatu cerita dapat dikatakan sebagai cerita rakyat apabila memiliki ciri-ciri
sebagai berikut.
1) Penyebaran
dan penyampaiannya dari mulut ke mulut.
2) Bersifat
tradisional karena lahir dalam masyarakat yang bercorak tradisional.
3) Menggambarkan
ciri-ciri budaya suatu masyarakat.
4) Bersifat
anonym, artinya tidak diketahui siapa pengarangnya sehingga menjadi milik
masyarakat.
5) Memiliki
berbagai versi dan menggunakan gaya bahasa lisan sehari-hari.
6) Merupakan
proyeksi emosional yang paling jujur dari masyarakatnya (Barnet, 1936:1)
2.2
Konsep Nilai-Nilai Didaktis
Wellek dan Warren (1993:30) menyatakan bahwa sastra lisan berfungsi sebagai dulce et utile (sweet and useful).
Sastra lisan sebagai alat dulce
berfungsi untuk menghibur, memberi kenikmatan, kegembiraan, kepuasan, atau
kelegaan pada hati pendengar atau pembacanya. Sastra lisan sebagai utile
berfungsi untuk mendidik, memberi nasihat, memberi pengetahuan, membimbing
moral, memberi gambaran kebiasaan tata cara kehidupan, atau memberi pengetahuan
tentang asal-usul, peristiwa atau jasa masyarakat lama.
Suhariyanto (1991:18) mengemukakan bahwa mengajarkan sesuatu
adalah memberikan sesuatu yang memang dibutuhkan manusia pada umumnya, yakni
nilai-nilai yang anggun dan agung yang sering terlepas dari pengamatan
sehari-hari, ajaran itu terdapat dalam karya sastra. Ajaran yang terkandung dalam
karya sastra dapat berupa ajaran moral atau pesan. Ajaran moral juga terdapat
dalam cerita prosa rakyat. Hal itu
sesuai dengan pendapat Bascom dalam Danandjaja (1965:287) sebagai berikut:
Dalam cerita rakyat sebenarnya terkandung nilai-nilai luhur, terutama yang
berkaitan dengan pendidikan, misalnya cerita yang terdapat dalam dongeng.
Nilai-nilai pendidikan dalam cerita rakyat terbagi menjadi
lima, yakni nilai pendidikan ketuhanan, nilai pendidikan moral/susila, nilai
pendidikan kecakapan (intelektual), nilai pendidikan keindahan/estetis, dan
nilai pendidikan kemasyarakatan (Supadjar, 1985:180). Sastra lisan tentang cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit dari desa Tenganan
mengandung nilai-nilai seperti di atas, sehingga penelitian ini mengacu pada
konsep nilai-nilai pendidikan seperti yang dikemukakan oleh Supadjar.
Nilai pendidikan ketuhanan keimanan adalah nilai
kepercayaan dan keyakinan manusia terhadap Tuhan dengan penuh kesadaran melalui
hati nurani, ucapan, dan perbuatan (Supadjar,1985:198). Nilai-nilai ketuhanan
di dalam cerita rakyat dapat dimanfaatkan untuk mendidik pembaca agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta meyakini dan mengamalkan
ajaran-ajarannya.
Moral berasal dari kata mores yang artinya kesusilaan. Moral
adalah aturan yang meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan dan tingkah
laku yang baik (Supadjar, 1985: 197). Perbuatan dan tingkah laku dikatakan baik
jika perbuatan dan tingkah lauk tersebut tidak melanggar aturan atau norma yang
berlaku dalam masyarakat.
Moral dalam cerita rakyat biasanya mencerminklan pandangan
hidup pencipta cerita. Pandangan tentang nilai-nilai dan kebenaran dan hal-hal
yang hanya dimiliki oleh individu dan suatu kelompok tertentu saja, tetapi
dapat pula dimiliki dan diyakini oleh seluruh manusia Indonesia.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1
Metode Tinjauan Kepustakaan
(Library Research)
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode pustaka. Metode pustaka yaitu suatu studi
kepustakaan (literature) berupa buku-buku sebagai sumber acuan dalam penelitian
(Ratna, 2010). Dalam metode tinjauan kepustakaan ini, penulis mencari dan
membaca buku-buku atau sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan
penulisan karya ilmiah. Penulis juga mengunduh (download) beberapa artikel tentang tentang klasifikasi sastra lisan
yaitu cerita rakyat dan yang berhubungan dengan desa Adat Tenganan beserta cerita-cerita
rakyat yang berkembang di dalamnya.
3.2
Metode Perekaman
Dalam metode perekaman
ini, penulis merekam secara langsung pada saat salah satu informan melantunkan
atau mendongengkan cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit. Agar tidak terjadi
manipulasi dalam sastra lisan ini, penulis merekam secara langsung tanpa
memberitahukan terlebih dahulu kepada informan agar tercipta keaslian dari
informan atau sang penutur aslinya.
3.3
Metode Wawancara
Dalam
metode wawancara ini, penulis berdialog langsung dengan narasumber atau
informan yang mengetahui cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit tersebut. I Wayan
Kondra adalah salah satu informan yang memberikan informasi dalam penelitian
ini, karena beliau mengetahui bagaimana kisah cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit
yang berada di desa
Tenganan yang telah diwariskan secara turun-temurun dari mulut ke mulut.
3.4
Analisis Data
Dalam
analisis data ini, data yang telah terkumpul dianalisis dengan metode
deskriptif dan metode observasi atau lapangan, yaitu dengan cara menyusun dan
mengelompokkan data yang berupa kata-kata atau kalimat berdasarkan kategorinya
masing-masing untuk dapat diperoleh simpulan secara umum.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1
Cerita
Rakyat Lelipi Selaan Bukit
4.1.1
Cerita
Rakyat Lelipi Selaan Bukit dalam Bahasa Bali
Ada anak muani madan I
Tundung, sane luh kurenane madan Ni Blenek. Make dadua
makurenan sane megae dadi penyakap apetak tanah gelah Jero Pasek Bendesa. Jero
Pasek Bendesa punika,
peneke sane nyelapange tekaange uling tongos len teken desa adat anggone
ngenepin golongan ring desa
Tenganan sane golongan Pasek (nyilih ring desa Ngis) lan golongan Pande (nyilih ring desa Tunggak, Bebandem). Asapunika
dadosne Jero Pasek Bendesa baange ayah-ayahan sane marupa apetak tanah sane
sakape teken I Tundung. Sesampune makudang-kudang rahina, hasil abian tanahe sane sakape pepes
keilangan. Krana pepes keilangan, Jero Pasek sane ngelah apetak tanahe punika
ngwelang I Tundung, lantas I Tundung lek tur ngerasa pelih krana nenten bise
ngejaga piteket dados penyakap tanah punika. Krana punika I Tundung meled
metapa nunas sareng Hyang Kuasa apang icenine kesaktian lan takutine olih
manusa.
Mare ia nglaksanayang
tapa teka Hyang Kuasa, lan I Tundung nagih makejang pengidihne olih Hyang
Kuasa. Gelisin satua I Tundung meled dadi lelipi, yening dadi lelipi ia pasti
bise mejaga lemah-peteng ape ane dadi gelahne lan nawang nyen ane suba
ngemaling hasil abian uling tanah ane sakape. Dadosne Hyang Kuasa ngabulang
pengidihne I Tundung dados dadi lelipi ane enu bise meraosan care manusa. Nanging yening ia suba nawang nyen ane
ngemaling hasil abian tanah ane sakape, I Tundung tusing dadi nyegut tur
ngematiang anake ane maling,
lan manusa ane lenan,
lan yening ia ngelempasin ia dados lelipi sejatmane. I Tundung maan kesaktian, dados wentukne dadi lelipi lan nerima
pantangan ring Hyang Kuasa. Lantas sesampune makudang-kudang rahina Jero Pasek
Bendesa teka ningalin abian sakapan tanah I Tundung lan tepukine lelipi, Jero
Pasek Bendesa ngaokin I Tundung,
"Tundung, Tundung, Tundung, dije cai?”
“Tiang
I Tundung Jero, sane mangkin tiang marupa dados lelipi, tetujonnyane apang
prasida nyagain lan nawangin sire sane sampun ngemaling hasil abiane," pesaut I Tundung sane wentukne
dadi lelipi. Jero Pasek Bendesa makesyab ningalin wentukne I Tundung sane suba
dadi lelipi, lan Jero Pasek Bendesa ngemaang wentukne I Tundung dadi lelipi
krana ia enu dadi penyakap tanah lan dadi buruh Jero Pasek Bendesa lan Jero Mesabda.
"Nah Tundung,
nanging yening teked pidan ye cai tusing nyidang dadi manusia buin, tusing dadi
cai ngusudin, ngiyeg, tur ngancem makejang semeton lan keturunan iyange." I Tundung mesanggup nenten cang ngiyeg
semeton lan keturunane Jero Pasek Bendesa.
Sesampune awarsa tur
duang warsa, I Tundung sap teken ape ane patut ucapang marupa mantra tur Weda sane kaicenin olih Hyang Kuasa.
Sedek dina ujan bales anake ane ngemaling macelep ke abian gelah sakapan I
Tundung, krana gedeg tur jengah ia ane wentukne dadi lelipi, I Tundung nyegut anake ane maling kanti mati. Ia lantas
bagia krana sampun ngewalesang gedegne, nanging ia masi nyesel krana ia
ngelempasin pantangan olih Hyang Kuasa lan lantas I Tundung tetep wentukne dadi
lelipi lan tusing nyidahang dadi manusa. Krana wentukne sampun dadi lelipi, ia
tusing bani mulih ke desane lan nongos di kubu cenik.
Gelisin satua kurenane
ane madan Ni Blenek inguh krana kurenane tusing teka-teka, lantas ia ke abian
ngalih kurenane ane tusing teka-teka. Sesampune teked ia lantas ngalinang
kurenane tur ngaokin kurenane,
"Beli Tundung... Tundung... Tundung..." Nanging I Tundung tusing bani
nyautin krana yening ia masaut nyan kurenane takut ninggalin wentukne ane dadi
lelipi.
Lantas buin akejepne
mare I Tundung bani maekin kurenane tur masaut,
"Mai-mai ni kurenan nyaine I Tundung, nanging jani kene wentuk
yange ane suba dadi lelipi."
Ni Blenek makesyab
krana kurenane suba dadi lelipi lan ia matakon teken kurenane, "Beli,
kenape Beli dadi kekene, kanti Beli dadi lelipi, ape ane suba beli laksanaang
kanti Hyang Kuasa molihang kekene?" I Tundung lantas nyatuang ape ane ngae
ia dadi lelipi.
Ni Blenek sebet
ninggalin kurenane dadi lelipi, lan I Tundung masaut, "Jani kene, yening nyai enu meled
mulih ke desa kemo ke desa, nanging yening nyai enu satya teken iyang dadi
kurenan nyaine tuutin pejalan iyange, ngoyong dini metapa ajak iyang apang nyai
bisa dadi care lelipi." Krana satyane jak kurenane, Ni Blenek nuutin
kurenane lantas makadadua metapa ngidih ring Hyang Kuasa lan Ni Blenek lantas
dadi lelipi.
4.1.2
Terjemahan
Cerita Rakyat Lelipi Selaan Bukit dalam Bahasa Indonesia
Ada seorang laki-laki
bernama I Tundung sedangkan istrinya bernama Ni Blenek. Mereka adalah pasangan suami istri yang bekerja
sebagai penggarap satu petak tanah milik Jero Pasek Bendesa. Jero Pasek Bendesa
merupakan pendatang yang sengaja didatangkan dari tempat lain oleh desa adat untuk
melengkapi golongan yang ada di desa
Tenganan yaitu golongan Pasek (meminjam di desa Ngis) dan golongan Pande (meminjam
di desa Tunggak,
Bebandem). Hal itulah yang
menyebababkan, Jero Pasek Bendesa diberikan beberapa
fasilitas,
salah satunya yaitu satu petak tanah yang telah digarap oleh I Tundung. Setelah
beberapa lama,
hasil perkebunan yang telah digarapnya tersebut sering kemalingan. Karena
terlalu seringnya kemalingan, Jero Pasek pemilik satu petak tanah tersebut
memarahi I Tundung, dan I Tundung sangat malu dan merasa bersalah karena tidak
mampu menjaga amanat untuk menggarap tanah tersebut. Oleh karena itu, I Tundung bertekad untuk melakukan tapa
brata memohon pada Hyang Kuasa supaya
diberikan kekuatan dan ditakuti oleh manusia.
Ketika I Tundung melakukan tapa brata maka
datanglah Hyang Kuasa, dan I Tundung mengajukan semua
permohonannya kepada Hyang Kuasa. Diceritakan bahwa I Tundung ingin menjadi
ular, dengan menjadi ular berarti dia akan bisa mengontrol siang-malam apa yang
menjadi haknya dan mengetahui siapa yang telah mencuri hasil perkebunan dari
tanah yang digarapnya. Maka Hyang Kuasa mengabulkan permohonan I Tundung untuk
menjadi ular yang masih bisa berbicara layaknya seorang manusia dengan syarat apabila dia sudah mengetahui
siapa yang mencuri hasil perkebunan tanah yang digarapnya, I Tundung tidak
boleh menggigit bahkan membunuh pencuri tersebut ataupun manusia lainnya dan
apabila I Tundung melanggarnya maka dia akan seutuhnya menjadi ular seumur
hidupnya. I Tundung pun menerima
kekuatannya dalam perwujudannya menjadi ular dan menerima pantangan yang telah
diberikan oleh
Hyang Kuasa. Beberapa
hari kemudian, Jero
Pasek Bendesa datang untuk melihat kebun garapan tanah I Tundung dan kemudian ditemukannya
ular, Jero Pasek Bendesa memanggil-manggil I Tundung, “Tundung, Tundung,
Tundung, dimana kamu?“
“Saya I Tundung Jero,
perwujudan saya sekarang menjadi seekor ular, dengan tujuan saya dapat
mengontrol dan mengetahui siapa yang mencuri hasil perkebunan kita,” jawab I Tundung dalam perwujudannya
menjadi seekor ular. Jero Pasek Bendesa sangat kaget melihat perwujudan I
Tundung yang telah berubah menjadi seekor ular, dan Jero Pasek Bendesa
membiarkan perwujudan I Tundung menjadi seekor ular karena dia masih tetap
menjadi penggarap tanah dan menjadi budak dari Jero Pasek Bendesa dan beliau
berkata,
“Baiklah Tundung, tetapi jika sampai kapanpun juga seandainya kamu tidak bisa
berubah menjadi manusia kembali, jadi jangan sekali-kali kau menyentuh,
mengganggu, ataupun mengancam seluruh keluarga dan rakyatku.” I Tundung berjanji untuk tidak mengganggu
keluarga dan keturunan
Jero Pasek Bendesa.
Setelah sekitar satu atau
dua tahun kemudian, I Tundung lupa dengan apa yang dia harus ucapkan baik
berupa mantra ataupun Weda
yang telah dianugerahkan kepadanya oleh Hyang Kuasa. Pada suatu ketika, hujan deras seorang pencuri memasuki kebun milik garapan I
Tundung, karena sangat emosi dan kesal tanpa berpikir panjang dalam
perwujudannya menjadi seekor ular, I Tundung menggigit pencuri tersebut hingga
pencuri tersebut meninggal. Dia pun sangat puas dan senang karena telah bisa
membalaskan dendamnya, tetapi dia juga sangat menyesal karena dia telah
melanggar pantangan dari Hyang Kuasa dan akhirnya I Tundung tetap dalam
perwujudannya sebagai seekor ular dan tidak dapat kembali lagi menjadi manusia.
Karena telah berwujud sekor ular, ia tidak
berani untuk
kembali ke desanya lagi dan menetap di sebuah gubuk kecil.
Selanjutnya diceritakan
bahwa istrinya yang bernama Ni Belenek gelisah karena suaminya tidak kunjung
datang, akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke kebun mencari suaminya yang telah
lama tidak kembali. Sesampainya disana,
dia pun mencari suaminya dan terus memanggil nama suaminya, “Beli Tundung…Tundung...Tundung…” Tetapi
I Tundung tidak berani menjawab karena kalau dia menjawab pasti istrinya akan
ketakutan melihat perwujudannya yang telah menjadi seekor ular.
Kemudian setelah
beberapa lama barulah I Tundung berani menghampiri istrinya dan berkata, “Kemari-kemarilah inilah suamimu I
Tundung, namun beginilah perwujudanku yang telah menjadi seekor ular.”
Ni Belenek sangat kaget
bahwa suaminya sudah berubah menjadi seekor ular dan dia pun bertanya pada
suaminya, “Beli, kenapa Beli menjadi seperti ini, sampai Beli menjadi seekor
ular, apa yang telah Beli lakukan hingga Hyang Kuasa bertindak seperti ini?” I
Tundung kemudian menceritakan apa yang sebenarnya yang telah terjadi padanya hingga perwujudannya telah menjadi seekor
ular.
Ni Blenek sangat sedih
melihat suaminya yang telah berwujud menjadi seekor ular. Kemudian I Tundung berkata, “Sekarang begini istriku, jika engkau
masih ingin kembali ke desa silakan aku biarkan kamu kembali ke desa, tetapi
jika engkau masih setia padaku sebagai istri ikutilah jalanku, diamlah di sini bertapa denganku agar engkau bisa
seperti diriku menjadi seekor ular.” Karena kesetian pada suaminya, Ni Blenek memutuskan
untuk mengikuti suaminya dan mereka bersama-sama bertapa memohon pada Hyang
Kuasa dan pada akhirnya Ni Belenek berubah menjadi seekor ular.
4.2
Nilai
Didaktis Cerita Rakyat Lelipi Selaan Bukit
4.2.1
Nilai
Religius (Ketuhanan)
Religius mengandung
makna suatu keyakinan adanya Tuhan dan merupakan makna dari suatu sikap lahir
dan batin dari seseorang yang secara bersungguh-sungguh mengikuti ajaran agama
yang dianutnya. Dalam Widhi Tatwa
ajaran Agama Hindu disebutkan bahwa tujuan agama ialah mencapai kebahagiaan
duniawi dan rohani.
Dari segi bentuk atau
wujud, Tuhan merupakan sesuatu yang abstrak, yang ada pada sanubari, keyakinan
atau kepercayaan pemeluknya. Di balik
keabstrakannya, Tuhan memendam berbagai kekuatan yang luar biasa dan tidak bisa
terjangkau oleh siapapun atau
apapun,
sehingga diistilahkan dengan causa prima
(untuk keluarbiasaan Tuhan sebagai “penyebab utama”). Istilah lain yang lebih
bijak (tidak idealis menyebut kekuatan Tuhan sebagai kekuatan alam. Di samping
keuniversalannya yang tidak hanya dipergunakan di konteks agama, istilah
tersebut juga cenderung sebagai istilah kompromi bagi paham yang tidak
mempercayai Tuhan (atheism) jika
menyebut suatu kekuatan luar biasa (kekuatan Tuhan) yang di luar kekuatan manusia
(Balai Bahasa, 2003:376).
Orang tidak akan sujud
bakti kepada Tuhan apabila tidak percaya adanya Tuhan. Keyakinan terhadap adanya
Tuhan itu timbul pada diri manusia sendiri yang berasal dari hati kecilnya
melalui tiga cara: (1)
berdasarkan agama, yang berasal dari kitab suci yaitu Weda yang diyakini
bersumber dari Wahyu Tuhan melalui orang-orang suci yaitu para Maha Rsi; (2)
berdasarkan anumana, dengan mengumpulkan dari sesuatu perhitungan yang logis;
(3) berdasarkan pratyaksa pramana, yaitu dengan langsung merasakan atau
mengalami adanya (Sura, dkk, 1981:50-55).
Sebagian besar karya
sastra yang bersifat lisan (oral) seperti cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit
banyak menyiratkan petuah-petuah atau ajaran-ajaran. Apalagi cerita ini
merupakan cerita asli yang berkembang di desa
Tenganan yang memiliki adat-istiadat yang unik. Di samping itu, cerita ini banyak mengandun unsur
kesejarahan, filosofis, dan religius (keagamaan). Apabila dikaji dari unsur religiusnya maka
akan didapatkan unsur yang bersifat kepercayaan. Unsur yang bersifat kepercayaan
dapat dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya sebagai berikut: (1) Kepercayaan
dengan adanya satu Tuhan; (2) Kepercayaan dengan adanya banyak Tuhan
(politheisme); (3) Kepercayaan dengan adanya kekuatan roh-roh suci leluhur
(animisme); (4) Kepercayaan dengan adanya kekuatan benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan magis (dinamisme); (5) Kepercayaan
dengan tidak adanya Tuhan (atheism).
Dalam cerita rakyat
Lelipi Selaan Bukit, dijelaskan bahwa unsur yang bersifat religi (keagamaan)
yang terdapat dalam cerita ini lebih banyak bersifat tersirat atau lebih
tepatnya makna yang ada dalam pikiran, seperti pada kutipan di bawah ini.
“Oleh karena itu
I Tundung bertekad untuk melakukan tapa brata memohon pada Hyang Kuasa supaya
diberikan kekuatan dan ditakuti oleh manusia. Ketika dia melakukan tapa brata
maka datanglah Hyang Kuasa, dan I Tundung mengajukan semua permohonannya kepada Hyang Kuasa.”
“Ni Belenek
umemutuskan untuk mengikuti suaminya dan mereka bersama-sama bertapa memohon
pada Hyang Kuasa dan pada akhirnya Ni Belenek berubah menjadi seekor ular.”
Kutipan tersebut
menjelaskan bahwa Tuhan maha kuasa, beliau dapat berbuat apa saja yang sesuai
dengan kehendaknya. Beliau mampu memberikan anugerah dan mengabulkan permohonan
seseorang yang berusaha.
Selain itu Tuhan juga
maha adil, beliau akan memberikan hukuman bagi hambanya yang berdosa dan
berbuat salah atau bahkan menyakiti segala ciptaannya-Nya, dan melanggar
semua kodrat yang seharusnya ia laksanakan. Hal itu tampak pada kutipan di
baawaah ini.
“Pada suatu
hujan deras seorang pencuri memasuki
kebun milik garapan I Tundung, karena sangat emosi dan kesal tanpa berpikir
panjang dalam perwujudannya menjadi seekor ular, I Tundung menggigit pencuri
tersebut hingga pencuri tersebut akhirnya meninggal. Dia pun sangat puas dan
senang karena telah bisa membalaskan dendamnya, tetapi dia juga sangat menyesal
karena dia telah melanggar pantangan dari Hyang Kuasa dan akhirnya I Tundung
tetap dalam perwujudannya sebagai seekor ular dan tidak dapat kembali lagi
menjadi manusia. Karena telah berwujud
sekor ular, ia tidak berani untuk kembali ke
desanya lagi dan menetap di sebuah gubuk kecil.”
Berdasarkan kutipan
tersebut,
bahwa adannya larangan untuk mencuri agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan dan melanggar janji atau pantangan dari Tuhan bukanlah suatu permainan
yang dapat diingkari. Seseorang
yang melanggar akan menerima hukuman dari Tuhan, karena
kepercayaan adanya hukum Karma Phala (sebab-akibat) yang dapat diartikan bahwa
setiap perbuatan pasti ada imbalannya akan terus berjalan, dengan seperti itu
berarti perbuatan mencuri dan ingkar janji tidak dibenarkan oleh agama maupun
Tuhan karena merupakan
perbuatan dosa dan akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan yang
dilakukan.
4.2.2
Nilai
Etika/Moral Sebagai Sarana Pendidikan
Pendidikan adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (KBBI, 1993:232).
Proses pendidikan biasa dilakukan dengan cara mendidik, dalam artian mendidik yang
berarti memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak (budi pekerti atau
kelakuan) dan kecerdasan pikiran (Moeliono, 1998;204).
Etika sangat penting
bagi kehidupan manusia karena etika memiliki arti yang sama dengan tata susila,
yang berkaitan erat dengan tingkah laku atau perbuatan seseorang yang dilihat
dari segi baik atau buruknya perbuatan tersebut.
Tata susila peraturan
tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia.
Tujuan tata susila adalah untuk membina hubungan yang selaras atau rukun antara
mahluk hidup di sekitarnya (Mantra, 1993:1).
Seperti halnya pada
cerita Lelipi Selaan Bukit, perilaku yang tidak baik, antara lain tercermin
pada tokoh sang pencuri yang mencuri hasil perkebunan I Tundung, dan I Tundung
yang telah mengingkari janjinya pada Hyang Kuasa dan telah membunuh seorang
pencuri yang telah mencuri hasil perkebunannya. Perilaku tersebut sudah sangat
bertentangan dan tidak sesuai dengan ajaran dharma. Sikap yang bertentangan
dengan ajaran dharma (kebaikan) tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Pada suatu
hujan deras seorang pencuri memasuki
kebun milik garapan I Tundung, karena sangat emosi dan kesal tanpa berpikir
panjang dalam perwujudannya menjadi seekor ular, I Tundung menggigit pencuri
tersebut hingga pencuri tersebut akhirnya meninggal. Dia pun sangat puas dan
senang karena telah bisa membalaskan dendamnya, tetapi dia juga sangat menyesal
karena dia telah melanggar pantangan dari Hyang Kuasa dan akhirnya I Tundung
tetap dalam perwujudannya sebagai seekor ular dan tidak dapat kembali lagi
menjadi manusia. Karena telah berwujud sekor ular, ia tidak berani untuk
kembali ke desanya lagi dan menetap di sebuah gubuk kecil.”
Kutipan tersebut
menunjukkan bahwa perilaku mencuri adalah perbuatan yang tidak baik karena
telah mengambil hasil kerja dari usaha orang lain. Sedangkan sikap I Tundung
yang telah menggigit sang pencuri hingga meninggal, juga merupakan perbuatan yang tidak
baik karena menyakiti bahkan sampai membunuh orang adalah perbuatan yang tidak
terpuji karena manusia memiliki hak yang sama dengan manusia yang lain,
sama-sama memiliki hak untuk hidup dan apabila manusia tersebut melakukan
perbuatan yang tidak baik ataupun melanggar maka biarkan pihak yang berwenang
untuk memberikan hukuman yang sesuai dengan apa yang diperbuatnya, dengan
menyakiti seseorang atau bahkan sampai membunuhnya itu sama halnya kita
merampas hak hidup orang lain.
4.2.3
Nilai
Kesetiaan
Nilai kesetiaan yang
dimaksud dalam cerita ini adalah kesetiaan seorang istri terhadap suaminya.
Kesetiaan yang dimaksud dalam cerita ini adalah suatu sikap yang ditunjukkan
oleh seorang istri kepada suaminya baik dalam bentuk tindakan dan perilaku
senantiasa setia, patuh,
dan taat pada titah yang diberikan kepadanya. Nilai kesetian dengan nilai kasih
sayang, merupakan
nilai atau suatu
sikap yang universal. Kasih sayang
tanpa kesetiaan dan kesetiaan tanpa kasih sayang tidak dapat terwujud dengan baik
(Balai Bahasa, 2004:428).
Nilai kesetiaan dalam
cerita ini tampak pada saat Ni Blenek yang tidak mau kembali ke desa
meninggalkan suaminya yang telah berwujud seekor ular. Untuk menunjukkan
kesetiaan pada suaminya yaitu I Tundung, Ni Blenek bersedia untuk ikut bertapa
dengan I Tundung untuk mengubah
dirinya menjadi seekor ular untuk
menemani suaminya. Hal itu tampak pada kutipan di bawah ini.
“Karena kesetiannya
pada suaminya, Ni Belenek umemutuskan untuk mengikuti suaminya dan mereka
bersama-sama bertapa memohon pada Hyang Kuasa dan pada akhirnya Ni Belenek
berubah menjadi seekor ular.”
Berdasarkan kutipan
tersebut, tampak bahwa kesetiaan Ni Blenek terhadap I Tundung sangat besar
walaupun bagaimana kondisi, wujud I Tundung yang telah berubah menjadi seekor
ular, bahkan karena setianya Ni Blenek bersedia untuk bertapa menjadi seekor
ular agar dapat selalu bersama dan mendampingi suaminya.
4.3 Kepercayaan
Masyarakat Desa Tenganan Terhadap cerita Rakyat Lelipi Selaan Bukit
Sampai sekarang ini keberadaan cerita rakyat Lelipi Selaan
Bukit masih dipercayai oleh masyarakat
desa
Tenganan. Karena masyarakat percaya bahwa Lelipi Selaan Bukit tersebut memang
ada dan selalu melindungi hutan yang berada di bukit desa Tenganan. Beberapa masyarakat juga
pernah menemukan ular tersebut, ular perwujudan I Tundung dan Ni Blenek yang memiliki ukuran dan ciri yang
berbeda.
Ukuran perwujudan Ni Belenek lebih kecil
daripada ukuran I Tundung. Jika I Tundung ukurannya sangat panjang dan dia bisa
berdiri sampai duburnya karena perwujudannya yang menyerupai ular kobra dan
jika setinggi apapun dia tidak mau masuk ke pagar tersebut tetapi dia akan
meloncat karena perwujudannya seperti
ular kobra yang kepalanya selalu tegak. Perwujudan
I
Tundung ini menggunakan Jenung
(Suda Manik) pada dahinya seperti brilian apabila terkena sinar matahari maka Jenungnya tersebut akan menyala. Dia diibaratkan
dating, apabila pada
saat tidak ada musim bunga Gadung,
tetapi pada saat itu tercium harum bau bunga Gadung maka itulah I Tundung. Dia juga diibaratkan apabila tidak ada
musim angin tetapi ada angin maka itulah I Tundung yang sedang lewat pada
tempat tersebut karena I Tundung ini selalu berpindah-pindah dan bahkan
perwujudannya telah banyak sehingga masyarakat Tenganan pernah ditemuinya dan
tidak diganggu karena salama I Tundung tidak diganggu maka dia tidak akan pernah mengganggu
manusia dan akan menjaga masyarakat Tenganan, namun apabila dia merasa
terganggu maka tidak ada pengampunan
bagi orang tersebut selain harus mati.
Masyarakat percaya bahwa Lelipi tersebut tidak akan
mengganggu mereka semasih Lelipi tersebut tidak merasa terganggu. Kedatangan
Lelipi tersebut dipercayai dengan terciumnya bau bunga Gadung yang sangat harum walaupun belum
masa bunga tersebut bermekaran, dan kedatangan angin yang secara tiba-tiba
walaupun bukan saatnya musim angin. Selain itu setiap siang hari sekitar pukul 11 atau pukul 12 siang, masyarakat yang berada
di atas bukit sering mendengar ketawa ular perwujudan I Tundung.
Kepercayaan
tersebut semakin terbukti dengan seseorang yang telah mati karena tidak sengaja
telah menimpa telur I Tundung dengan kayu bakar. Dikisahkan bahwa seseorang
yang berasal dari desa
Asak yang sedang mencari kayu bakar di hutan bukit tersebut, tetapi orang
tersebut tidak tahu bahwa di sana terdapat telurnya I Tundung. Ketika orang
tersebut membawa kayu bakar yang dibawanya, dan tanpa diduga kayu bakar
tersebut jatuh dan tepat menimpa pada telur I Tundung. Orang tersebut pun
sangat takut dan lari menuju ke rumahnya. I Tundung sangat marah dan menunggu
kemanapun orang tersebut akan lewat. Dengan rasa gelisah orang tersebut merasa
bersalah dan memiliki firasat bahwa dia pasti akan dibunuh oleh I Tundung. Dia
terus berlari, tetapi I Tundung tidak mau membunuhnya di tengah perjalanan
menuju rumahnya. Sesampai dirumahnya
barulah I Tundung menggigitnya dan sampai mati. Orang yang digigit oleh I
Tundung akan mati seketika dan semua kulitnya seperti terbakar karena darahnya
sudah beku akibat gigitan I Tundung tersebut.
4.4
Kemiripan Nilai Cerita Rakyat
Lelipi Selaan Bukit Terhadap Pengaruh Nilai Kepercayaan di Masyarakat Desa
Tenganan
Cerita
Lelipi Selaan Bukit ini hanya bersifat sebagai kepercayaan masyarakat dalam hal
ini yang pertama adalah kepercayaan akan adanya Hyang Kuasa (Tuhan). Seperti
yang sudah diketahui, masyarakat Indonesia pada umumnya termasuk Bali, sebelum
terkena pengaruh agama, masyarakat sudah hidup dengan berbagai kepercayaan
diantaranya seperti animisme, dinamisme
dan sebagainya. Adapun kemiripan nilai cerita rakyat dengan pengaruh yang
berkembang di desa
Tenganan adalah kepercayaan masyarakat terhadap adanya nilai-nilai religi yang
terkandungnya salah satunya adalah kepercayaan dengan adanya keberadaan Tuhan, selain
itu masyarakat Tenganan juga telah melakukan Yadnya atau persembahan dan
tradisi-tradisi budaya lainnya sebagai tanda terima kasih atas anugerah yang
telah dilimpahkan oleh Tuhan.
Kepercayaan
dengan tidak mengingkari janji dan kesetiaan kepada Tuhan maupun pasangan,
karena mereka percaya akan hasil dari
segala perbuatan yang mereka lakukan (hukum karma phala) hal tersebut juga
merupakan nilai kesetiaan yang terdapat di dalam cerita rakyat ini. Dengan kata
lain nilai tersebut mirip dengan pengaruh-pengaruh yang berkembang di desa Tenganan yang salah satunya adalah,
bahwa mereka tidak boleh memiliki istri atau suami lebih dari satu atau menikah
lagi, dengan kata lain seseorang tidak boleh memilki pasangan lebih dari satu,
dan seseorang dapat mencari pasangan lagi apabila pasangan sebelumnya sudah
meninggal (suami istri).
Kepercayaan
berikutnya yaitu bahwa I Tundung adalah sebagai penjaga hutan bukit tersebut dan
akan membunuh orang tersebut apabila dia merasa terganggu. Dengan adanya itu,
masyarakat tidak berani untuk merusak hutan tersebut karena takut dari ular
penjelmaan I Tundung. Hal itu sejalan
dengan masyarakat Desa Tenganan yang melindungi kawasan hutan dan menjatuhkan
sanksi bagi orang yang merusak hutan.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Simpulan
Berdasarkan rumusan
masalah dan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat
ditarik simpulan sebagai berikut.
1. Desa
tenganan adalah salah satu dari ketiga desa Bali Aga (Bali mula) di Bali yang
memiliki cerita rakyat yang berlimpah salah satunya adalah cerita rakyat Lelipi
Selaan Bukit yang mengkisahkan seseorang yang menerima perwujudan menjadi
seekor ular akibat telah mengingkari janjinya kepada Tuhan.
2. Cerita
rakya Lelipi Selaan Bukit mengandung beberapa nilai-nilai didaktis diantaranya
adalah nilai religius (ketuhanan), nilai etika/moral sebagai sarana pendidikan, dan nilai kesetiaan.
3. Masyarakat
Desa Tenganan mempercayai adanya keberadaan Lelipi Selaan Bukit sebagai pelindung
hutan di bukit desa
Tenganan.
4. Cerita
rakyat Lelipi Selaan Bukit memiliki pengaruh bagi masyarakat dalam bertindak
dan bertingkah laku, diantaranya adalah memercayai Tuhan, menjaga hutan, dan setia terhadap pasangan.
5.2 Saran
Dalam kesempatan ini,
penulis mengajukan beberapa saran diantaranya sebagai berikut.
1. Kepada
masyarakat Desa Tenganan agar terus melestarikan budaya-budaya warisan yang
salah satunya adalah cerita rakyat, serta mencari hikmah dari cerita tersebut
dan menjadikannya landasan untuk berbuat yang baik.
2. Kepada
para remaja dan para siswa-siswi yang duduk di bangku sekolah, agar ikut
melestarikan cerita-cerita rakyat serta menjadikannya landasan untuk berpikir
dan berbuat yang baik layaknya sebagai generasi muda penerus bangsa.
3. Kepada
para peneliti yang lain disarankan untuk mengkaji atau melakukan penelitian
cerita-cerita rakyat baik itu adalah cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit yang
berkembang di desa
Tenganan secara lebih luas.
DAFTAR
PUSTAKA
Balai Bahasa Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Bunga
Rampai Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra. Denpasar: Balai Bahasa Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: CAPS.
Mantra, IB. 1993. Tata Susila Hindu Dharma. Denpasar: Upada Sastra.
Monografi Desa
Tenganan. 1991.
Rupa, I Wayan, dkk. 2007. Budaya Masyarakat Suku Bangsa Bali
Aga (Tenganan Pegringsingan).
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.
Sura, I Gede dkk. 1994. Agama Hindu: Sebuah Pengantar. Denpasar: Kayu Mas Agung.
Sutjaja, I Gusti Made. 2006. Kamus Bali Indonesia Inggris. Denpasar: Universitas Udayana.
Suharyanto dkk. 1991. Pengkajian Nilai-nilai Luhur
Budaya Spiritual Bangsa
Daerah Jawa Timur II. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Supadjar,
Damardjati.
1985. Etika dan Tata Krama JawaMasa Lalu
dan Masa Kini. Yogyakarta: Proyek Javanologi
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. 1993. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Balai Pustaka.
Wellek, Rene dan
Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan.
Jakarta: PT Gramedia.