Sabtu, 05 Maret 2016

KIR SASTRA CERITA RAKYAT DESA TENGANAN "LELIPI SELAAN BUKIT"

Ini adalah sebuah karya tulis yang mengangkat sebuah kisah cerita rakyat yang berkembang di Desa Tenganan, Karangasem. Karya tulis ini dibuat dan berhasil lolos di tingkat provinsi. 
Selamat Membaca.. 

ANALISIS NILAI-NILAI DIDAKTIS
CERITA RAKYAT “LELIPI SELAAN BUKIT”
DARI DESA TENGANAN KECAMATAN MANGGIS
KABUPATEN KARANGASEM

Penulis: Ni Komang Yanti Suartini
SMA Negeri 1 Bebandem
Jln. Raya Jungutan, Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem,
 Kabupaten Karangasem, Bali

ABSTRAK

Perkembangan zaman telah mengubah keadaan kebudayaan nasional salah satunya adalah keberadaan cerita rakyat. Saat ini, jarang kita menemukan orang tua (informan) yang masih ingat dengan satu cerita rakyat di daerahnya dan tentunya budaya bercerita orang tua pada anak tidak ada lagi sehingga anak-anak lebih senang menyimak cerita-cerita film yang disajikan oleh media televisi atau internet. Oleh karena itu, kita berkewajiban untuk menjaga serta melestarikan kebudayaan tersebut.
Bertolak dari hal tersebut, maka perlu diadakan penelitian terhadap cerita-cerita rakyat pada zaman dahulu yang digunakan sebagai media menanamkan nilai-nilai pada anak agar cerita rakyat tidak mengalami kepunahan. Penelitian cerita rakyat ini, menjadikan desa Tenganan sebagai obyek penelitian karena di desa tersebut terdapat sebuah cerita rakyat yang masih memiliki pengaruh besar di dalam masyarakat tersebut.
Topik bahasan penulis dalam penelitian ini adalah mengaji nilai-nilai didaktis cerita rakyat “Lelipi Selaan Bukit” di desa Tenganan. Nilai-nilai didaktis yang dianalisis dalam hal ini adalah nilai religius (ketuhanan), nilai etika/moral, dan nilai kesetiaan. Di samping itu, juga mengaji kemiripan nilai cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit terhadap pengaruh nilai kepercayaan di masyarakat desa Tenganan.
Metodologi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode tinjauan kepustakaan (Library Research), metode perekaman, metode wawancara, dan analisis data melalui metode deskriptif dan metode observasi.
Akhirnya melalui penelitian ini, cerita-cerita rakyat yang berkembang secara lisan khususnya di desa Tenganan bisa dilestarikan oleh generasi muda, serta menjadikannya landasan untuk berpikir dan berbuat yang baik layaknya sebagai generasi muda penerus bangsa.



Kata kunci: Tenganan, cerita rakyat, nilai didaktis, religius, etika, moral, kesetiaan.




BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Dewasa ini zaman terus berkembang, seperti halnya dengan keadaan kebudayaan nasional Indonesia termasuk di dalamnya yaitu keadaan cerita rakyat yang ada pada zaman dahulu yang merupakan warisan nenek moyang bangsa kita yang terdapat di masing-masing daerah yang sudah mulai punah di zaman globalisasi ini. Saat ini, banyak orang sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan cerita rakyat dan lebih cenderung pada cerita-cerita luar seperti cerita drama serial yang disajikan di televisi. Hal tersebut jelas berdampak pada keberadaan cerita rakyat dan kelestarian budaya bercerita pada kalangan orang tua. Saat ini, jarang kita menemukan orang tua (informan) yang masih ingat dengan satu cerita rakyat di daerahnya dan tentunya tidak lagi bercerita pada anaknya sehingga anak-anak tersebut lebih senang menyimak cerita-cerita film yang disajikan oleh media televisi atau internet. Oleh karena itu, kita berkewajiban untuk menjaga serta melestarikan kebudayaan tersebut.
Bertolak dari hal tersebut, maka perlu diadakan penelitian terhadap cerita-cerita rakyat pada zaman dahulu yang digunakan sebagai media menanamkan nilai-nilai pada anak agar cerita rakyat tidak mengalami kepunahan. Penelitian cerita rakyat ini, menjadikan desa Tenganan sebagai obyek penelitian karena di desa tersebut terdapat sebuah cerita rakyat yang masih memiliki pengaruh besar di dalam masyarakat tersebut.
Seperti yang sudah diketahui bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tenganan adalah nama sebuah desa yang merupakan salah satu dari tiga desa Bali Mula (Bali Aga) yang terdapat di Bali selain desa Trunyan dan desa Sembiran/Panglipuran. Desa Tenganan merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Manggis, kabupaten Karangasem.
Menurut sejarah, desa Tenganan merupakan desa tua yang memiliki adat-istiadat yang unik dan yang lain dari desa-desa di Bali pada umumnya. Masyarakat desa Tenganan adalah Bali Mula (Bali Aga), karena mereka tidak terkena pengaruh dari luar terutama dari kerajaan majapahit dahulu. Menurut Corn, bahwa masyarakat desa Tenganan berasal dari Bendahulu, mereka adalah keturunan dari orang-orang Peneges (pengikut Raja Bendahulu) yang secara filosofis mereka diberi hak dan kewajiban berupa wilayah oleh Dewa Indra, karena keberhasilan mereka untuk menemukan kuda “Onceswara” yang hilang. Wilayah desa Tenganan dikelilingi oleh bukit yang melingkar serta merupakan kawasan hutan lindung milik desa adat dan terdapat aturan (awig-awig) yang mengatur pelestarian hutan tersebut.
Dari segi adat-istiadat masyarakat Tenganan dibagi dalam tiga kelompok (adat) yaitu: Desa Adat Gumung, Tenganan Pegringsingan, dan Tenganan Dauh Tukad. Adat istiadat mengandung pengertian yang sangat luas diantaranya kebiasaan ahli warisan nenek moyang yang diturunkan secara turun-temurun dipertahankan, baik yang berasal dari agama maupun kebiasaan sehari-hari yang telah diterima sebagai adat. Salah satu diantaranya yang dapat dimasukkan kedalam warisan nenek moyang secara turun-temurun adalah cerita rakyat yang berkembang di desa Tenganan dan memberikan pengaruh yang besar bagi desa Tenganan.
Salah satu cerita rakyat yang masih diyakini oleh masyarakat desa Tenganan adalah cerita rakyat “Lelipi Selaan Bukit” atau “Ular di Tengah Bukit “. Oleh karena itu, cerita semacam ini yang berkembang secara lisan dan turun-temurun yang hampir tenggelam oleh peredaran waktu dan perkembangan zaman tersebut sudah seharusnya dilestarikan kembali agar tidak mengalami kepunahan. Sehingga cerita-cerita tersebut dapat bermanfaat bagi generasi berikutnya. Pelestarian cerita rakyat dapat dilakukan dengan cara melakukan penelitian terhadap cerita-cerita rakyat tersebut, kemudian mengaji unsur-unsur yang dikandungnya seperti unsur religius, filosofis, psikologis, sosiologis maupun sejarahnya.
Topik bahasan penulis dalam penelitian ini adalah mengaji nilai-nilai didaktis cerita rakyat “Lelipi Selaan Bukit” di desa Tenganan. Menurut penelitian penulis, cerita-cerita seperti ini sudah semakin sulit untuk ditemukan, karena mengingat keterbatasan kemampuan mengingat orang-orang tua dahulu yang kebanyakan telah lupa akan cerita seperti ini. Berdasarkan dengan hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian cerita rakyat ini dan menjadikan hal ini sebagai latar belakang dalam mengaji nilai-nilai didaktis yang terkandung dalam cerita rakyat “Lelipi Selaan Bukit”.

1.2         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Nilai didaktis yang bagaimanakah yang terkandung dalam cerita Lelipi Selaan Bukit?
2.      Apakah cerita Lelipi Selaan Bukit termasuk kepercayaan masyarakat daerah Tenganan?
3.      Adakah kemiripan nilai cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit terhadap pengaruh nilai kepercayaan di masyarakat desa Tenganan?

1.3         Pembatasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan yang timbul di luar pokok permasalahan yang dimaksud, maka perlu adanya pembatasan masalah. Adapun batasan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu:
1.      Cerita rakyat di desa Tenganan “Lelipi Selaan Bukit”.
2.      Mengaji nilai-nilai didaktis yang terkandung dalam cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit dan pengaruh kepercayaan masyarakat desa Tenganan terhadap cerita rakyat tersebut.

1.4         Tujuan penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Tujuan umum, yaitu mengarahkan siswa-siswi yang duduk di bangku sekolah, agar dapat tanggap terhadap kebudayaan warisan nenek moyang terutama pada cerita-cerita rakyat yang berkembang di daerahnya, dan mampu melestarikan cerita tersebut serta mengambil hikmah dari nilai-nilai didaktis yang terkandung di dalamnya.
2.      Tujuan Khusus, yaitu sebagai latihan atau memperdalam teori-teori yang diterima di bangku sekolah, dan untuk mengetahui serta memahami cerita-cerita rakyat yang terdapat di desa tenganan dan pengaruhnya bagi kehidupan di desa yang bersangkutan.

1.5         Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak diantaranya sebagai berikut.
1.      Bagi siswa yang duduk di bangku sekolah
Semoga hasil penelitian ini dapat memotivasi seluruh siswa yang duduk di bangku sekolah untuk terus melatih teori-teori yang didapatkan di sekolah dan menjaga kebudayaan warisan nenek moyang yang telah turun-temurun seperti cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit, karena sebagai generasi penerus kita berkewajiban untuk melestarikan cerita-cerita rakyat tersebut sehingga tidak mengalami kepunahan walaupun terjadi perkembangan zaman.
2.      Bagi masyarakat desa Tenganan
Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan dorongan atau masukan bagi masyarakat desa Tenganan untuk selalu melestarikan seluruh kebudayaan warisan nenek moyang yang telah diturunkan secara turun-temurun terutama pada cerita rakyat “Lelipi Selaan Bukit” dan cerita-cerita rakyat yang lainnya, sehingga cerita-cerita tersebut selalu ada sebagai acuan hidup dalam kodrat sebagai manusia.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1         Pengertian Cerita Rakyat
Cerita rakyat adalah sastra lisan atau cerita yang berasal, tumbuh, dan berkembang di masyarakat pada daerah tertentu yang disebarkan secara turun-temurun dari masa lampau dan diyakini menjadi milik masyarakat daerah tersebut serta memberikan pengaruh dan peran penting bagi masyarakat. Di mana suatu cerita dapat dikatakan sebagai cerita rakyat apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1)      Penyebaran dan penyampaiannya dari mulut ke mulut.
2)      Bersifat tradisional karena lahir dalam masyarakat yang bercorak tradisional.
3)      Menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat.
4)      Bersifat anonym, artinya tidak diketahui siapa pengarangnya sehingga menjadi milik masyarakat.
5)      Memiliki berbagai versi dan menggunakan gaya bahasa lisan sehari-hari.
6)      Merupakan proyeksi emosional yang paling jujur dari masyarakatnya (Barnet, 1936:1)
  
2.2         Konsep Nilai-Nilai Didaktis
Wellek dan Warren (1993:30) menyatakan bahwa sastra lisan berfungsi sebagai dulce et utile (sweet and useful). Sastra lisan sebagai alat dulce berfungsi untuk menghibur, memberi kenikmatan, kegembiraan, kepuasan, atau kelegaan pada hati pendengar atau pembacanya. Sastra lisan sebagai utile berfungsi untuk mendidik, memberi nasihat, memberi pengetahuan, membimbing moral, memberi gambaran kebiasaan tata cara kehidupan, atau memberi pengetahuan tentang asal-usul, peristiwa atau jasa masyarakat lama.
Suhariyanto (1991:18) mengemukakan bahwa mengajarkan sesuatu adalah memberikan sesuatu yang memang dibutuhkan manusia pada umumnya, yakni nilai-nilai yang anggun dan agung yang sering terlepas dari pengamatan sehari-hari, ajaran itu terdapat dalam karya sastra. Ajaran yang terkandung dalam karya sastra dapat berupa ajaran moral atau pesan. Ajaran moral juga terdapat dalam cerita prosa rakyat. Hal itu sesuai dengan pendapat Bascom dalam Danandjaja (1965:287) sebagai berikut: Dalam cerita rakyat sebenarnya terkandung nilai-nilai luhur, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, misalnya cerita yang terdapat dalam dongeng.
Nilai-nilai pendidikan dalam cerita rakyat terbagi menjadi lima, yakni nilai pendidikan ketuhanan, nilai pendidikan moral/susila, nilai pendidikan kecakapan (intelektual), nilai pendidikan keindahan/estetis, dan nilai pendidikan kemasyarakatan (Supadjar, 1985:180). Sastra lisan tentang cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit dari desa Tenganan mengandung nilai-nilai seperti di atas, sehingga penelitian ini mengacu pada konsep nilai-nilai pendidikan seperti yang dikemukakan oleh Supadjar.
Nilai pendidikan ketuhanan keimanan adalah nilai kepercayaan dan keyakinan manusia terhadap Tuhan dengan penuh kesadaran melalui hati nurani, ucapan, dan perbuatan (Supadjar,1985:198). Nilai-nilai ketuhanan di dalam cerita rakyat dapat dimanfaatkan untuk mendidik pembaca agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta meyakini dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
Moral berasal dari kata mores yang artinya kesusilaan. Moral adalah aturan yang meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan dan tingkah laku yang baik (Supadjar, 1985: 197). Perbuatan dan tingkah laku dikatakan baik jika perbuatan dan tingkah lauk tersebut tidak melanggar aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat.
Moral dalam cerita rakyat biasanya mencerminklan pandangan hidup pencipta cerita. Pandangan tentang nilai-nilai dan kebenaran dan hal-hal yang hanya dimiliki oleh individu dan suatu kelompok tertentu saja, tetapi dapat pula dimiliki dan diyakini oleh seluruh manusia Indonesia.  





BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1       Metode Tinjauan Kepustakaan (Library Research)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pustaka. Metode pustaka yaitu suatu studi kepustakaan (literature) berupa buku-buku sebagai sumber acuan dalam penelitian (Ratna, 2010). Dalam metode tinjauan kepustakaan ini, penulis mencari dan membaca buku-buku atau sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan penulisan karya ilmiah. Penulis juga mengunduh (download) beberapa artikel tentang tentang klasifikasi sastra lisan yaitu cerita rakyat dan yang berhubungan dengan desa Adat Tenganan beserta cerita-cerita rakyat yang berkembang di dalamnya.

3.2       Metode Perekaman
Dalam metode perekaman ini, penulis merekam secara langsung pada saat salah satu informan melantunkan atau mendongengkan cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit. Agar tidak terjadi manipulasi dalam sastra lisan ini, penulis merekam secara langsung tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada informan agar tercipta keaslian dari informan atau sang penutur aslinya.

3.3       Metode Wawancara
            Dalam metode wawancara ini, penulis berdialog langsung dengan narasumber atau informan yang mengetahui cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit tersebut. I Wayan Kondra adalah salah satu informan yang memberikan informasi dalam penelitian ini, karena beliau mengetahui bagaimana kisah cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit yang berada di desa Tenganan yang telah diwariskan secara turun-temurun dari mulut ke mulut.





3.4       Analisis Data
            Dalam analisis data ini, data yang telah terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif dan metode observasi atau lapangan, yaitu dengan cara menyusun dan mengelompokkan data yang berupa kata-kata atau kalimat berdasarkan kategorinya masing-masing untuk dapat diperoleh simpulan secara umum.


























BAB IV
PEMBAHASAN

4.1         Cerita Rakyat Lelipi Selaan Bukit
4.1.1             Cerita Rakyat Lelipi Selaan Bukit dalam Bahasa Bali
Ada anak muani madan I Tundung, sane luh kurenane madan Ni Blenek. Make dadua makurenan sane megae dadi penyakap apetak tanah gelah Jero Pasek Bendesa. Jero Pasek Bendesa punika, peneke sane nyelapange tekaange uling tongos len teken desa adat anggone ngenepin golongan ring desa Tenganan sane golongan Pasek (nyilih ring desa Ngis) lan golongan Pande (nyilih ring desa Tunggak, Bebandem). Asapunika dadosne Jero Pasek Bendesa baange ayah-ayahan sane marupa apetak tanah sane sakape teken I Tundung. Sesampune makudang-kudang rahina, hasil abian tanahe sane sakape pepes keilangan. Krana pepes keilangan, Jero Pasek sane ngelah apetak tanahe punika ngwelang I Tundung, lantas I Tundung lek tur ngerasa pelih krana nenten bise ngejaga piteket dados penyakap tanah punika. Krana punika I Tundung meled metapa nunas sareng Hyang Kuasa apang icenine kesaktian lan takutine olih manusa.
Mare ia nglaksanayang tapa teka Hyang Kuasa, lan I Tundung nagih makejang pengidihne olih Hyang Kuasa. Gelisin satua I Tundung meled dadi lelipi, yening dadi lelipi ia pasti bise mejaga lemah-peteng ape ane dadi gelahne lan nawang nyen ane suba ngemaling hasil abian uling tanah ane sakape. Dadosne Hyang Kuasa ngabulang pengidihne I Tundung dados dadi lelipi ane enu bise meraosan care manusa. Nanging yening ia suba nawang nyen ane ngemaling hasil abian tanah ane sakape, I Tundung tusing dadi nyegut tur ngematiang anake ane maling, lan manusa ane lenan, lan yening ia ngelempasin ia dados lelipi sejatmane. I Tundung maan kesaktian, dados wentukne dadi lelipi lan nerima pantangan ring Hyang Kuasa. Lantas sesampune makudang-kudang rahina Jero Pasek Bendesa teka ningalin abian sakapan tanah I Tundung lan tepukine lelipi, Jero Pasek Bendesa ngaokin  I Tundung, "Tundung, Tundung, Tundung, dije cai?”
Tiang I Tundung Jero, sane mangkin tiang marupa dados lelipi, tetujonnyane apang prasida nyagain lan nawangin sire sane sampun ngemaling hasil abiane," pesaut I Tundung sane wentukne dadi lelipi. Jero Pasek Bendesa makesyab ningalin wentukne I Tundung sane suba dadi lelipi, lan Jero Pasek Bendesa ngemaang wentukne I Tundung dadi lelipi krana ia enu dadi penyakap tanah lan dadi buruh Jero Pasek Bendesa lan Jero Mesabda.
"Nah Tundung, nanging yening teked pidan ye cai tusing nyidang dadi manusia buin, tusing dadi cai ngusudin, ngiyeg, tur ngancem makejang semeton lan keturunan iyange." I Tundung mesanggup nenten cang ngiyeg semeton lan keturunane Jero Pasek Bendesa.
Sesampune awarsa tur duang warsa, I Tundung sap teken ape ane patut ucapang marupa mantra tur Weda sane kaicenin olih Hyang Kuasa. Sedek dina ujan bales anake ane ngemaling macelep ke abian gelah sakapan I Tundung, krana gedeg tur jengah ia ane wentukne dadi lelipi, I Tundung  nyegut anake ane maling kanti mati. Ia lantas bagia krana sampun ngewalesang gedegne, nanging ia masi nyesel krana ia ngelempasin pantangan olih Hyang Kuasa lan lantas I Tundung tetep wentukne dadi lelipi lan tusing nyidahang dadi manusa. Krana wentukne sampun dadi lelipi, ia tusing bani mulih ke desane lan nongos di kubu cenik.
Gelisin satua kurenane ane madan Ni Blenek inguh krana kurenane tusing teka-teka, lantas ia ke abian ngalih kurenane ane tusing teka-teka. Sesampune teked ia lantas ngalinang kurenane tur ngaokin kurenane, "Beli Tundung... Tundung... Tundung..." Nanging I Tundung tusing bani nyautin krana yening ia masaut nyan kurenane takut ninggalin wentukne ane dadi lelipi.
Lantas buin akejepne mare I Tundung bani maekin kurenane tur masaut,  "Mai-mai ni kurenan nyaine I Tundung, nanging jani kene wentuk yange ane suba dadi lelipi."
Ni Blenek makesyab krana kurenane suba dadi lelipi lan ia matakon teken kurenane, "Beli, kenape Beli dadi kekene, kanti Beli dadi lelipi, ape ane suba beli laksanaang kanti Hyang Kuasa molihang kekene?" I Tundung lantas nyatuang ape ane ngae ia dadi lelipi.
Ni Blenek sebet ninggalin kurenane dadi lelipi, lan I Tundung masaut, "Jani kene, yening nyai enu meled mulih ke desa kemo ke desa, nanging yening nyai enu satya teken iyang dadi kurenan nyaine tuutin pejalan iyange, ngoyong dini metapa ajak iyang apang nyai bisa dadi care lelipi." Krana satyane jak kurenane, Ni Blenek nuutin kurenane lantas makadadua metapa ngidih ring Hyang Kuasa lan Ni Blenek lantas dadi lelipi.

4.1.2             Terjemahan Cerita Rakyat Lelipi Selaan Bukit dalam Bahasa Indonesia
Ada seorang laki-laki bernama I Tundung sedangkan istrinya bernama Ni Blenek. Mereka adalah pasangan suami istri yang bekerja sebagai penggarap satu petak tanah milik Jero Pasek Bendesa. Jero Pasek Bendesa merupakan pendatang yang sengaja didatangkan dari tempat lain oleh desa adat untuk melengkapi golongan yang ada di desa Tenganan yaitu golongan Pasek (meminjam di desa Ngis) dan golongan Pande (meminjam di desa Tunggak, Bebandem). Hal itulah yang menyebababkan, Jero Pasek Bendesa diberikan beberapa fasilitas, salah satunya yaitu satu petak tanah yang telah digarap oleh I Tundung. Setelah beberapa lama, hasil perkebunan yang telah digarapnya tersebut sering kemalingan. Karena terlalu seringnya kemalingan, Jero Pasek pemilik satu petak tanah tersebut memarahi I Tundung, dan I Tundung sangat malu dan merasa bersalah karena tidak mampu menjaga amanat untuk menggarap tanah tersebut. Oleh karena itu, I Tundung bertekad untuk melakukan tapa brata  memohon pada Hyang Kuasa supaya diberikan kekuatan dan ditakuti oleh manusia.
Ketika I Tundung melakukan tapa brata maka datanglah Hyang Kuasa, dan I Tundung mengajukan semua permohonannya kepada Hyang Kuasa. Diceritakan bahwa I Tundung ingin menjadi ular, dengan menjadi ular berarti dia akan bisa mengontrol siang-malam apa yang menjadi haknya dan mengetahui siapa yang telah mencuri hasil perkebunan dari tanah yang digarapnya. Maka Hyang Kuasa mengabulkan permohonan I Tundung untuk menjadi ular yang masih bisa berbicara layaknya seorang manusia  dengan syarat apabila dia sudah mengetahui siapa yang mencuri hasil perkebunan tanah yang digarapnya, I Tundung tidak boleh menggigit bahkan membunuh pencuri tersebut ataupun manusia lainnya dan apabila I Tundung melanggarnya maka dia akan seutuhnya menjadi ular seumur hidupnya.  I Tundung pun menerima kekuatannya dalam perwujudannya menjadi ular dan menerima pantangan yang telah diberikan oleh Hyang Kuasa. Beberapa hari kemudian, Jero Pasek Bendesa datang untuk melihat kebun garapan tanah I Tundung dan kemudian ditemukannya ular, Jero Pasek Bendesa memanggil-manggil I Tundung, “Tundung, Tundung, Tundung, dimana kamu?“ 
“Saya I Tundung Jero, perwujudan saya sekarang menjadi seekor ular, dengan tujuan saya dapat mengontrol dan mengetahui siapa yang mencuri hasil perkebunan kita,” jawab I Tundung dalam perwujudannya menjadi seekor ular. Jero Pasek Bendesa sangat kaget melihat perwujudan I Tundung yang telah berubah menjadi seekor ular, dan Jero Pasek Bendesa membiarkan perwujudan I Tundung menjadi seekor ular karena dia masih tetap menjadi penggarap tanah dan menjadi budak dari Jero Pasek Bendesa dan beliau berkata, “Baiklah Tundung, tetapi jika sampai kapanpun juga seandainya kamu tidak bisa berubah menjadi manusia kembali, jadi jangan sekali-kali kau menyentuh, mengganggu, ataupun mengancam seluruh keluarga dan rakyatku.” I Tundung berjanji untuk tidak mengganggu keluarga dan keturunan Jero Pasek Bendesa.
Setelah sekitar satu atau dua tahun kemudian, I Tundung lupa dengan apa yang dia harus ucapkan baik berupa mantra ataupun Weda yang telah dianugerahkan kepadanya oleh Hyang Kuasa. Pada suatu ketika, hujan deras  seorang pencuri memasuki kebun milik garapan I Tundung, karena sangat emosi dan kesal tanpa berpikir panjang dalam perwujudannya menjadi seekor ular, I Tundung menggigit pencuri tersebut hingga pencuri tersebut meninggal. Dia pun sangat puas dan senang karena telah bisa membalaskan dendamnya, tetapi dia juga sangat menyesal karena dia telah melanggar pantangan dari Hyang Kuasa dan akhirnya I Tundung tetap dalam perwujudannya sebagai seekor ular dan tidak dapat kembali lagi menjadi manusia.  Karena telah berwujud sekor ular, ia tidak berani untuk kembali ke desanya lagi dan menetap di sebuah gubuk kecil.
Selanjutnya diceritakan bahwa istrinya yang bernama Ni Belenek gelisah karena suaminya tidak kunjung datang, akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke kebun mencari suaminya yang telah lama tidak kembali. Sesampainya disana, dia pun mencari suaminya dan terus memanggil nama suaminya, “Beli Tundung…Tundung...Tundung…” Tetapi I Tundung tidak berani menjawab karena kalau dia menjawab pasti istrinya akan ketakutan melihat perwujudannya yang telah menjadi seekor ular.
Kemudian setelah beberapa lama barulah I Tundung berani menghampiri istrinya dan berkata, “Kemari-kemarilah inilah suamimu I Tundung, namun beginilah perwujudanku yang telah menjadi seekor ular.”
Ni Belenek sangat kaget bahwa suaminya sudah berubah menjadi seekor ular dan dia pun bertanya pada suaminya, “Beli, kenapa Beli menjadi seperti ini, sampai Beli menjadi seekor ular, apa yang telah Beli lakukan hingga Hyang Kuasa bertindak seperti ini?” I Tundung kemudian menceritakan apa yang sebenarnya yang telah terjadi padanya  hingga perwujudannya telah menjadi seekor ular.
Ni Blenek sangat sedih melihat suaminya yang telah berwujud menjadi seekor ular. Kemudian I Tundung berkata, “Sekarang begini istriku, jika engkau masih ingin kembali ke desa silakan aku biarkan kamu kembali ke desa, tetapi jika engkau masih setia padaku sebagai istri ikutilah jalanku, diamlah di sini bertapa denganku agar engkau bisa seperti diriku menjadi seekor ular.” Karena kesetian pada suaminya, Ni Blenek memutuskan untuk mengikuti suaminya dan mereka bersama-sama bertapa memohon pada Hyang Kuasa dan pada akhirnya Ni Belenek berubah menjadi seekor ular.

4.2         Nilai Didaktis Cerita Rakyat Lelipi Selaan Bukit
4.2.1                                                           Nilai Religius (Ketuhanan)
Religius mengandung makna suatu keyakinan adanya Tuhan dan merupakan makna dari suatu sikap lahir dan batin dari seseorang yang secara bersungguh-sungguh mengikuti ajaran agama yang dianutnya. Dalam Widhi Tatwa ajaran Agama Hindu disebutkan bahwa tujuan agama ialah mencapai kebahagiaan duniawi dan rohani.
Dari segi bentuk atau wujud, Tuhan merupakan sesuatu yang abstrak, yang ada pada sanubari, keyakinan atau kepercayaan pemeluknya. Di balik keabstrakannya, Tuhan memendam berbagai kekuatan yang luar biasa dan tidak bisa terjangkau oleh siapapun atau apapun, sehingga diistilahkan dengan causa prima (untuk keluarbiasaan Tuhan sebagai “penyebab utama”). Istilah lain yang lebih bijak (tidak idealis menyebut kekuatan Tuhan sebagai kekuatan alam. Di samping keuniversalannya yang tidak hanya dipergunakan di konteks agama, istilah tersebut juga cenderung sebagai istilah kompromi bagi paham yang tidak mempercayai Tuhan (atheism) jika menyebut suatu kekuatan luar biasa (kekuatan Tuhan) yang di luar kekuatan manusia (Balai Bahasa, 2003:376).
Orang tidak akan sujud bakti kepada Tuhan apabila tidak percaya adanya Tuhan. Keyakinan terhadap adanya Tuhan itu timbul pada diri manusia sendiri yang berasal dari hati kecilnya melalui tiga cara: (1) berdasarkan agama, yang berasal dari kitab suci yaitu Weda yang diyakini bersumber dari Wahyu Tuhan melalui orang-orang suci yaitu para Maha Rsi; (2) berdasarkan anumana, dengan mengumpulkan dari sesuatu perhitungan yang logis; (3) berdasarkan pratyaksa pramana, yaitu dengan langsung merasakan atau mengalami adanya (Sura, dkk, 1981:50-55).
Sebagian besar karya sastra yang bersifat lisan (oral) seperti cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit banyak menyiratkan petuah-petuah atau ajaran-ajaran. Apalagi cerita ini merupakan cerita asli yang berkembang di desa Tenganan yang memiliki adat-istiadat yang unik. Di samping itu, cerita ini banyak mengandun unsur kesejarahan, filosofis, dan religius (keagamaan). Apabila dikaji dari unsur religiusnya maka akan didapatkan unsur yang bersifat kepercayaan. Unsur yang bersifat kepercayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya sebagai berikut: (1) Kepercayaan dengan adanya satu Tuhan; (2) Kepercayaan dengan adanya banyak Tuhan (politheisme); (3) Kepercayaan dengan adanya kekuatan roh-roh suci leluhur (animisme); (4) Kepercayaan dengan adanya kekuatan benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan magis (dinamisme); (5) Kepercayaan dengan tidak adanya Tuhan (atheism).
Dalam cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit, dijelaskan bahwa unsur yang bersifat religi (keagamaan) yang terdapat dalam cerita ini lebih banyak bersifat tersirat atau lebih tepatnya makna yang ada dalam pikiran, seperti pada kutipan di bawah ini.
“Oleh karena itu I Tundung bertekad untuk melakukan tapa brata memohon pada Hyang Kuasa supaya diberikan kekuatan dan ditakuti oleh manusia. Ketika dia melakukan tapa brata maka datanglah Hyang Kuasa, dan I Tundung mengajukan  semua permohonannya kepada Hyang Kuasa.”
“Ni Belenek umemutuskan untuk mengikuti suaminya dan mereka bersama-sama bertapa memohon pada Hyang Kuasa dan pada akhirnya Ni Belenek berubah menjadi seekor ular.”
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Tuhan maha kuasa, beliau dapat berbuat apa saja yang sesuai dengan kehendaknya. Beliau mampu memberikan anugerah dan mengabulkan permohonan seseorang yang berusaha.
Selain itu Tuhan juga maha adil, beliau akan memberikan hukuman bagi hambanya yang berdosa dan berbuat salah atau bahkan menyakiti segala ciptaannya-Nya, dan melanggar semua kodrat yang seharusnya ia laksanakan. Hal itu tampak pada kutipan di baawaah ini.
“Pada suatu hujan deras  seorang pencuri memasuki kebun milik garapan I Tundung, karena sangat emosi dan kesal tanpa berpikir panjang dalam perwujudannya menjadi seekor ular, I Tundung menggigit pencuri tersebut hingga pencuri tersebut akhirnya meninggal. Dia pun sangat puas dan senang karena telah bisa membalaskan dendamnya, tetapi dia juga sangat menyesal karena dia telah melanggar pantangan dari Hyang Kuasa dan akhirnya I Tundung tetap dalam perwujudannya sebagai seekor ular dan tidak dapat kembali lagi menjadi manusia.  Karena telah berwujud sekor ular, ia tidak berani untuk kembali ke desanya lagi dan menetap di sebuah gubuk kecil.”

Berdasarkan kutipan tersebut, bahwa adannya larangan untuk mencuri agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan melanggar janji atau pantangan dari Tuhan bukanlah suatu permainan yang dapat diingkari. Seseorang yang melanggar  akan menerima hukuman dari Tuhan, karena kepercayaan adanya hukum Karma Phala (sebab-akibat) yang dapat diartikan bahwa setiap perbuatan pasti ada imbalannya akan terus berjalan, dengan seperti itu berarti perbuatan mencuri dan ingkar janji tidak dibenarkan oleh agama maupun Tuhan karena merupakan perbuatan dosa dan akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan yang dilakukan.

4.2.2                                                           Nilai Etika/Moral Sebagai Sarana Pendidikan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (KBBI, 1993:232). Proses pendidikan biasa dilakukan dengan cara mendidik, dalam artian mendidik yang berarti memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak (budi pekerti atau kelakuan) dan kecerdasan pikiran (Moeliono, 1998;204).
Etika sangat penting bagi kehidupan manusia karena etika memiliki arti yang sama dengan tata susila, yang berkaitan erat dengan tingkah laku atau perbuatan seseorang yang dilihat dari segi baik atau buruknya perbuatan tersebut.
Tata susila peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Tujuan tata susila adalah untuk membina hubungan yang selaras atau rukun antara mahluk hidup di sekitarnya (Mantra, 1993:1).
Seperti halnya pada cerita Lelipi Selaan Bukit, perilaku yang tidak baik, antara lain tercermin pada tokoh sang pencuri yang mencuri hasil perkebunan I Tundung, dan I Tundung yang telah mengingkari janjinya pada Hyang Kuasa dan telah membunuh seorang pencuri yang telah mencuri hasil perkebunannya. Perilaku tersebut sudah sangat bertentangan dan tidak sesuai dengan ajaran dharma. Sikap yang bertentangan dengan ajaran dharma (kebaikan) tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Pada suatu hujan deras  seorang pencuri memasuki kebun milik garapan I Tundung, karena sangat emosi dan kesal tanpa berpikir panjang dalam perwujudannya menjadi seekor ular, I Tundung menggigit pencuri tersebut hingga pencuri tersebut akhirnya meninggal. Dia pun sangat puas dan senang karena telah bisa membalaskan dendamnya, tetapi dia juga sangat menyesal karena dia telah melanggar pantangan dari Hyang Kuasa dan akhirnya I Tundung tetap dalam perwujudannya sebagai seekor ular dan tidak dapat kembali lagi menjadi manusia. Karena telah berwujud sekor ular, ia tidak berani untuk kembali ke desanya lagi dan menetap di sebuah gubuk kecil.”

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa perilaku mencuri adalah perbuatan yang tidak baik karena telah mengambil hasil kerja dari usaha orang lain. Sedangkan sikap I Tundung yang telah menggigit sang pencuri hingga meninggal, juga merupakan perbuatan yang tidak baik karena menyakiti bahkan sampai membunuh orang adalah perbuatan yang tidak terpuji karena manusia memiliki hak yang sama dengan manusia yang lain, sama-sama memiliki hak untuk hidup dan apabila manusia tersebut melakukan perbuatan yang tidak baik ataupun melanggar maka biarkan pihak yang berwenang untuk memberikan hukuman yang sesuai dengan apa yang diperbuatnya, dengan menyakiti seseorang atau bahkan sampai membunuhnya itu sama halnya kita merampas hak hidup orang lain.

4.2.3                                                           Nilai Kesetiaan
Nilai kesetiaan yang dimaksud dalam cerita ini adalah kesetiaan seorang istri terhadap suaminya. Kesetiaan yang dimaksud dalam cerita ini adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh seorang istri kepada suaminya baik dalam bentuk tindakan dan perilaku senantiasa setia, patuh, dan taat pada titah yang diberikan kepadanya. Nilai kesetian dengan nilai kasih sayang, merupakan nilai atau suatu sikap yang universal. Kasih sayang tanpa kesetiaan dan kesetiaan tanpa kasih sayang tidak dapat terwujud dengan baik (Balai Bahasa, 2004:428).
Nilai kesetiaan dalam cerita ini tampak pada saat Ni Blenek yang tidak mau kembali ke desa meninggalkan suaminya yang telah berwujud seekor ular. Untuk menunjukkan kesetiaan pada suaminya yaitu I Tundung, Ni Blenek bersedia untuk ikut bertapa dengan I Tundung untuk mengubah dirinya menjadi seekor ular untuk menemani suaminya. Hal itu tampak pada kutipan di bawah ini.
“Karena kesetiannya pada suaminya, Ni Belenek umemutuskan untuk mengikuti suaminya dan mereka bersama-sama bertapa memohon pada Hyang Kuasa dan pada akhirnya Ni Belenek berubah menjadi seekor ular.”
Berdasarkan kutipan tersebut, tampak bahwa kesetiaan Ni Blenek terhadap I Tundung sangat besar walaupun bagaimana kondisi, wujud I Tundung yang telah berubah menjadi seekor ular, bahkan karena setianya Ni Blenek bersedia untuk bertapa menjadi seekor ular agar dapat selalu bersama dan mendampingi suaminya.

4.3       Kepercayaan Masyarakat Desa Tenganan Terhadap cerita Rakyat Lelipi Selaan Bukit
Sampai sekarang ini keberadaan cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit masih dipercayai oleh masyarakat desa Tenganan. Karena masyarakat percaya bahwa Lelipi Selaan Bukit tersebut memang ada dan selalu melindungi hutan yang berada di bukit desa Tenganan. Beberapa masyarakat juga pernah menemukan ular tersebut, ular perwujudan I Tundung dan Ni Blenek yang memiliki ukuran dan ciri yang berbeda. Ukuran perwujudan Ni Belenek lebih kecil daripada ukuran I Tundung. Jika I Tundung ukurannya sangat panjang dan dia bisa berdiri sampai duburnya karena perwujudannya yang menyerupai ular kobra dan jika setinggi apapun dia tidak mau masuk ke pagar tersebut tetapi dia akan meloncat karena perwujudannya seperti ular kobra yang kepalanya selalu tegak. Perwujudan I Tundung ini menggunakan Jenung (Suda Manik) pada dahinya seperti brilian apabila terkena sinar matahari maka Jenungnya tersebut akan menyala. Dia diibaratkan dating, apabila pada saat tidak ada musim bunga Gadung, tetapi pada saat itu tercium harum bau bunga Gadung maka itulah I Tundung. Dia juga diibaratkan apabila tidak ada musim angin tetapi ada angin maka itulah I Tundung yang sedang lewat pada tempat tersebut karena I Tundung ini selalu berpindah-pindah dan bahkan perwujudannya telah banyak sehingga masyarakat Tenganan pernah ditemuinya dan tidak diganggu karena salama I Tundung tidak diganggu maka dia tidak akan pernah mengganggu manusia dan akan menjaga masyarakat Tenganan, namun apabila dia merasa terganggu maka tidak ada pengampunan bagi orang tersebut selain harus mati.
Masyarakat percaya bahwa Lelipi tersebut tidak akan mengganggu mereka semasih Lelipi tersebut tidak merasa terganggu. Kedatangan Lelipi tersebut dipercayai dengan terciumnya bau bunga Gadung yang sangat harum walaupun belum masa bunga tersebut bermekaran, dan kedatangan angin yang secara tiba-tiba walaupun bukan saatnya musim angin. Selain itu setiap siang hari sekitar pukul 11 atau pukul 12 siang, masyarakat yang berada di atas bukit sering mendengar ketawa ular perwujudan I Tundung.
            Kepercayaan tersebut semakin terbukti dengan seseorang yang telah mati karena tidak sengaja telah menimpa telur I Tundung dengan kayu bakar. Dikisahkan bahwa seseorang yang berasal dari desa Asak yang sedang mencari kayu bakar di hutan bukit tersebut, tetapi orang tersebut tidak tahu bahwa di sana terdapat telurnya I Tundung. Ketika orang tersebut membawa kayu bakar yang dibawanya, dan tanpa diduga kayu bakar tersebut jatuh dan tepat menimpa pada telur I Tundung. Orang tersebut pun sangat takut dan lari menuju ke rumahnya. I Tundung sangat marah dan menunggu kemanapun orang tersebut akan lewat. Dengan rasa gelisah orang tersebut merasa bersalah dan memiliki firasat bahwa dia pasti akan dibunuh oleh I Tundung. Dia terus berlari, tetapi I Tundung tidak mau membunuhnya di tengah perjalanan menuju rumahnya. Sesampai dirumahnya barulah I Tundung menggigitnya dan sampai mati. Orang yang digigit oleh I Tundung akan mati seketika dan semua kulitnya seperti terbakar karena darahnya sudah beku akibat gigitan I Tundung tersebut.

4.4       Kemiripan Nilai Cerita Rakyat Lelipi Selaan Bukit Terhadap Pengaruh Nilai Kepercayaan di Masyarakat Desa Tenganan
            Cerita Lelipi Selaan Bukit ini hanya bersifat sebagai kepercayaan masyarakat dalam hal ini yang pertama adalah kepercayaan akan adanya Hyang Kuasa (Tuhan). Seperti yang sudah diketahui, masyarakat Indonesia pada umumnya termasuk Bali, sebelum terkena pengaruh agama, masyarakat sudah hidup dengan berbagai kepercayaan diantaranya seperti animisme, dinamisme dan sebagainya. Adapun kemiripan nilai cerita rakyat dengan pengaruh yang berkembang di desa Tenganan adalah kepercayaan masyarakat terhadap adanya nilai-nilai religi yang terkandungnya salah satunya adalah kepercayaan dengan adanya keberadaan Tuhan, selain itu masyarakat Tenganan juga telah melakukan Yadnya atau persembahan dan tradisi-tradisi budaya lainnya sebagai tanda terima kasih atas anugerah yang telah dilimpahkan oleh Tuhan.
            Kepercayaan dengan tidak mengingkari janji dan kesetiaan kepada Tuhan maupun pasangan, karena mereka percaya akan hasil dari segala perbuatan yang mereka lakukan (hukum karma phala) hal tersebut juga merupakan nilai kesetiaan yang terdapat di dalam cerita rakyat ini. Dengan kata lain nilai tersebut mirip dengan pengaruh-pengaruh yang berkembang di desa Tenganan yang salah satunya adalah, bahwa mereka tidak boleh memiliki istri atau suami lebih dari satu atau menikah lagi, dengan kata lain seseorang tidak boleh memilki pasangan lebih dari satu, dan seseorang dapat mencari pasangan lagi apabila pasangan sebelumnya sudah meninggal (suami istri).
            Kepercayaan berikutnya yaitu bahwa I Tundung adalah sebagai penjaga hutan bukit tersebut dan akan membunuh orang tersebut apabila dia merasa terganggu. Dengan adanya itu, masyarakat tidak berani untuk merusak hutan tersebut karena takut dari ular penjelmaan I Tundung. Hal itu sejalan dengan masyarakat Desa Tenganan yang melindungi kawasan hutan dan menjatuhkan sanksi bagi orang yang merusak hutan.
           
BAB V
PENUTUP

5.1       Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
1.      Desa tenganan adalah salah satu dari ketiga desa Bali Aga (Bali mula) di Bali yang memiliki cerita rakyat yang berlimpah salah satunya adalah cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit yang mengkisahkan seseorang yang menerima perwujudan menjadi seekor ular akibat telah mengingkari janjinya kepada Tuhan.
2.      Cerita rakya Lelipi Selaan Bukit mengandung beberapa nilai-nilai didaktis diantaranya adalah nilai religius (ketuhanan), nilai etika/moral sebagai sarana pendidikan, dan nilai kesetiaan.
3.      Masyarakat Desa Tenganan mempercayai adanya keberadaan Lelipi Selaan Bukit sebagai pelindung hutan di bukit desa Tenganan.
4.      Cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit memiliki pengaruh bagi masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku, diantaranya adalah memercayai Tuhan, menjaga hutan, dan setia terhadap pasangan.

5.2        Saran
Dalam kesempatan ini, penulis mengajukan beberapa saran diantaranya sebagai berikut.
1.      Kepada masyarakat Desa Tenganan agar terus melestarikan budaya-budaya warisan yang salah satunya adalah cerita rakyat, serta mencari hikmah dari cerita tersebut dan menjadikannya landasan untuk berbuat yang baik.
2.      Kepada para remaja dan para siswa-siswi yang duduk di bangku sekolah, agar ikut melestarikan cerita-cerita rakyat serta menjadikannya landasan untuk berpikir dan berbuat yang baik layaknya sebagai generasi muda penerus bangsa.
3.      Kepada para peneliti yang lain disarankan untuk mengkaji atau melakukan penelitian cerita-cerita rakyat baik itu adalah cerita rakyat Lelipi Selaan Bukit yang berkembang di desa Tenganan secara lebih luas.

 DAFTAR PUSTAKA

Balai Bahasa Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Bunga Rampai Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra. Denpasar: Balai Bahasa Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: CAPS.
Mantra, IB. 1993. Tata Susila Hindu Dharma. Denpasar: Upada Sastra.
Monografi Desa Tenganan. 1991.
Rupa, I Wayan, dkk. 2007. Budaya Masyarakat Suku Bangsa Bali Aga (Tenganan Pegringsingan). Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.
Sura, I Gede dkk. 1994. Agama Hindu: Sebuah Pengantar. Denpasar: Kayu Mas Agung.
Sutjaja, I Gusti Made. 2006. Kamus Bali Indonesia Inggris. Denpasar: Universitas Udayana.
Suharyanto  dkk. 1991. Pengkajian Nilai-nilai Luhur Budaya Spiritual Bangsa
          Daerah Jawa Timur II. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Supadjar, Damardjati. 1985. Etika dan Tata Krama JawaMasa Lalu dan Masa Kini. Yogyakarta: Proyek Javanologi
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Balai Pustaka.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.